Advertisement

Responsive Advertisement

PENDIDIKAN KARAKTER DI PONDOK PESANTREN

Kyai adalah gelar yang di berikan oleh masyarakat kepada seseorang yang memiliki pemahaman gama yang lebih, atau tokoh agama islam yang menjadi pemimpin dalam sebuah pondok pesantren[1] Keberadaan seorang kyai dalam sebuah pesantren adalah laksana jantung bagi kehidupan manusia. Begitu urgen dan esensialnya kedudukan kyai, karena dialah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin, dan terkadang juga pemilik tunggal sebuah pesantren. Itulah sebabnya, banyak pesantren akhirnya bubar, lantaran ditinggal wafat kyainya, sementara dia tidak memiliki keturunan yang dapat meneruskan usahanya[2].
Kepemimpinan (leadership) merupakan pembahasan yang masih dianggap sangat menarik untuk terus dijadikan penelitian, terlebih lagi jika dikaitkan dengan kepemimpinan dalam suatu lembaga pendidikan, karena ia merupakan salah satu faktor penting dan menentukan keberhasilan atau gagalnya suatu organisasi dalam mencapai tujuannya.[3]
Seorang kyai merupakan penggerak dalam pembentukan karakter warga pondok pesantern atau yang sering disebut dengan santri, hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang mana bahwa sistem pendidikan pada pondok pesantren saat ini memang mengacu pada sistem pendidikan Nasional yang berbunyi:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi Marusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab[4]

PEMBAHASAN
Mengenal Pondok Pesantren
Kata pesantren berasal dari kata ”santri” yang mendapat imbuhan awalan ”pe” dan akhiran ”an” yang artinya adalah tempat, sehingga dapat difahami bahwa pesantren merupakan  tempat para santri. Terkadang pula pesantren dianggap sebagai gabungan dari kata ”santri” (manusia baik) dengan suku kata ”tra” (suka menolong) sehingga kata pesantren dapat diartikan tempat pendidikan manusia baik-baik[5]
Ridwan Nasir mendefinisikan Pesantren sebagai “lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam[6].  Sedangkan menurut haidar dia menjelaskan bahwa pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian[7]
 Pesantren juga berasal dari kata pe-santri-an, dimana kata "santri" berarti murid dalam Bahasa Jawa. Sedangkan Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq yang berarti tempat istirahat atau penginapan. di provinsi Aceh, pesantren dimamakan  dengan istilah dayah. Dan Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kyai. Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.[8] adapun tipologi pesantren secara umum dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu salafiyah (tradisional), khalafiyah (modern) dan terpadu.[9]
Dizaman modern ini seiring perkembangan tekhnologi dan modernisasi maka pesantren dituntut untuk menyesuaikan dan mengadopsi ide-ide baru yang berkaitan dengan system pendidikan yang meliputi banyak hal misalnya tentang kepemimpinan dan kurikulum. meskipun perubahan itu kadang tidak dikehendaki, karena akan berpengaruh terhadap eksistensi kiai sendiri, misalnya pergeseran penghormatan dan pengaruh kepemimpinan.[10]

Figur Kyai
Kyai adalah pemimpin non formal yang diangkat oleh masyarakat, dan actual leader, pemimpin yang diakui masyarakat karena karisma yang dimiliki, kyai juga disebut sebagai emerging leader[11]. Seorang Kyai adalah tokoh yang memiliki kharisma. Seorang pemimpin yang karismatik memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dengan cara internalisasi, yaitu mempengaruhi orang lain yand disadari atas nilai-nilai, prilaku, sikap dan pola prilaku yang ditekankan pada sebuah visi inspirational bagi kebutuhan aspirasi orang yang dipimpin.[12] Istilah kyai ini berlaku didaerh jawa tengah dan jawa timur, adapun dijawa barat biasa disebut dengan istilan ajengan. Di Indonesia sekarang ini, istilah Kyai juga disematkan bagi seorang ulama yang memiliki cukup pengaruh di masyarakat, meskipun meraka tidak mempimpin sebuh pondok pesantren.[13] Para kiai dengan kelebihan pengetahuannya dalam Islam, seringkali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka dianggap memiliki kedudukan yang tidak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan kekhususan mereka dalam bentuk pakaian yang merupakan simbol kealiman yaitu kopiah dan surban[14]
Menurut Martin Van Bruinessen bahwa kiai memainkan peranan yang lebih dari sekedar seorang guru. Dia bertindak sebagai seorang pembimbing spiritual bagi mereka yang taat dan pemberi nasehat dalam masalah kehidupan pribadi mereka, memimpin ritual-ritual penting serta membacakan doa pada berbagai acara keaganaan dan tradisi budaya.[15]
Jadi seorang Kyai merupakan pusat kepemimpinan dan penokohan di sebuah pesantren dan lingkungan masyarakat. Keahlian dalam bidang agama dan karisma yang muncul pada sosok Kyai membuat posisi seorang Kyai sangat berpengaruh baik di pondok pesantren maupun lingkungan masyarakat
Kyai dan Pembentukan Karakter
Pondok pesantren merupakan institusi pendidikan yang disinyalir telah lama menerapkan pendidikan karakter adalah pondok pesantren. Pondok Pesantren sebagai salah satu sub-sistem Pendidikan Nasional di Indonesia mempunyai keunggulan dan karakteristik khusus dalam mengaplikasikan pendidikan karakter bagi anak didiknya (santri)  karena Pesantren menggunakan sistem boarding asrama yang memudahkan dalam menerapkan nilai-nilai dan pandangan dunia yang dianutnya dalam kehidupan keseharian santri.[16] 
Menurut Tadzkirotun Musfiroh karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitude), perilaku (behaviors), motivasi (motivations) dan keterampilan (skills) Makna karakter itu sendiri sebenarnya berasal dari bahsa Yunani yang berarti to mark atau menandai dan memfokuskan pada aplikasi nilai
kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan berperilaku jelek dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek. Sebaliknya orang yang berperilaku sesuai dengan kaidah moral dinamakan berkarakter mulia.[17]
Dilingkungan pesantren, seorang Kyai adalah pemimpin sekaligus guru dalam proses pendidikan. Seorang kiyai memiliki peran sebagi Mudarris, yaitu sebagi guru yang menyampaikan materi ajar kepada para santri, kemudian juga seorang Muallim yang tidak hanya mengajarkan materi saja tapi juga memiliki tanggung jawab akan pemahaman keislaman santri.  Kemudian juga seorang Murabbi yang artinya adalah pengasuh, kemudian sebagai Mursyid pengerah dan pemberi pentunjuk mana yang baik dan mana yang buruk, dan terakhir adalah seorang Muaddib,yang artinya adalah pembentuk kepribadian santri.
Salah satu contoh nilai-nilai yang berperan penting dalam membentuk karakter santri yang hidup di pesantren adalah nili-nilai yang disebut dengan “panca-jiwa” pesantren. Nilai-nilai ini menjadi landasan dan motor penggerak seluruh aktivitas yang ada pesantren. Pacajiwa pesantren terdiri dari: (a) keikhlasan, (b) kesederhanaan, (c) kemandirian, (d) persaudaraan, dan (e) kebebasan dalam menentukan lapangan perjuangan dan kehidupan. Meskipun demikian, tidak semua pesantren menganut sistem nilai ini[18] dan hal yang penting juga dalam pembentukan karakter santri adala keteladanan seorang Kyai.
a.      Pendidikan Keikhalasan
Sosok seorang Kyai dalam membina karakter ikhlas kepada santri  telah dibuktikan terlebih dahulu, ini merupakan kekuatan tersendiri, sebagaimana dapat kitan saksikan bagaimana keikhalsan seorang Kyai Hasyim ‘as’ari yang berjuang dan menghabiskan umurnya di pondok pesantran, dimulai dari mendirikan Pondok Pesantren Tebu Ireng pata tahun 1899 M, hingga akhir hayat beliau tetap mengabdi di Pondok Pesanteren Tebu Ireng Jombang pada tahun 1947 M. Kyai Syukri dari Pondok Pesantern La tansa di Lebak Banten pernah mengatakan: “Pesantren adalah lautan perjuangan dan keikhlasan, maka kalian harus menjaga keikhlasan dan semangat juang kalian. Mendirikan pesantren jangan diniatkan untuk mencari kekayaan, atau mendapatkan kewibawaan, popularitas atau kemuliaan, jika itu niatnya, pesantren itu sulit berkembang”.[19]

b.      Pendidikan Kesederhanaan
Sifat kesederhanaan sangat melekat dengan karakter seorang Kyai, sebagimana dikisahkan oleh K.H. Mustafa Ya’kub tantang Kiai Ahmad Muhammad Rasimin, bahwa Beliau tinggal di Kampung Jaha, empat kilometer selatan Anyer. Beliau memimpin pesantren salaf. Kehidupannya sangat sederhana. Rumahnya tidak lebih indah dari bilik-bilik para santri. Tak terlihat ada kendaraan bermotor di rumahnya, apalagi mobil. Para santrinya tinggal di gubuk-gubuk bambu. Antara santri laki-laki dan perempuan dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Para santri laki-laki mandi di kolam yang dialiri oleh sungai tadi, sedangkan para santri perempuan mandi di kamar mandi milik masjid kampung.[20]  Dari kisah tersebut dapat kita ambil hikmah bahwa seorang kyai sangat jauh dari hidup berkemewahan. Kegiatan mendidik para santri sudah menjadikan mereka merasa cukup. Penanaman karakter sederhana ini dilakukan sampai para santri dinyatakan lulus.

c.       Pendidikan Kemandirian
Seorang Kyai memiliki peranan penting dalam pembntukan karakter mandiri sebagai mana Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mangun Budiyanto, Imam Machali menunjukkan bahwa terdapat lima prinsip pembentukan karakter mandiri yang dikembangkan di Pondok Pesantren Islamic Studies Center Aswaja Lintang Songo yang pada umumnya menggunakan pembelajaran berbasis komunitas yang berangkat dari realitas alam dan kehidupan. Bentuk-bentuk karakter mandiri yang dikembangkan adalah disiplin dan bersungguh-sungguh, kemandirian dan kerja keras, religius, kebersamaan, peduli, kasih sayang, kesederhanaan, hormat, santun, tanggung jawab, jujur, dan ikhlas. Kesemuanya terbentuk dalam program-program pendidikan dan praktik pertanian (agriculture) yang dilaksanakan di pondok pesantren tersebut.[21]
Berkaitan dengan kebiasan santri yang bersifat rutinitas menunjukkan kecenderungan santri lebih mampu dan berani dalam mengambil dan melaksanakan keputusan secara mandiri, misalnya pengelolaan keuangan, perencanaan belanja, perencanaan aktivitas rutin, dan sebagainya. Hal ini tidak lepas dari kehidupan mereka yang tidak tinggal bersama orangtua mereka dan tuntutan pesantren yang menginginkan santri-santri dapat hidup dengan berdikari. Santri dapat melakukan sharing kehidupan dengan teman-teman santri lainnya yang mayoritas seusia (sebaya) yang pada dasarnya memiliki kecenderungan yang sama. Apabila kemandirian tingkah-laku dikaitkan dengan rutinitas santri, maka kemungkinan santri memiliki tingkat kemandirian yang tinggi.[22]
d.      Pendidikan Persaudaraan
Seorng Kyai di pondok pesanteran sudah menunjukkan jiwa persaudaraan dalam kehidupannya. Di pondok pesantren ditanamkan nilai-nilai persaudaraan, dalam satu kamar terdiri dari 5 s.d 10 santri dengan berbagai karakter dan asal daerah diharapkan mampu menjalin persaudaraan baik selama di pesantren maupun diluar pesantren. Tidak jarang kita lihat tingkat kesetia kawanan antara santri itu tercermin dengan adanya nasab guru ketika mereka lulus dan mendirikan pondok pesantren di daerahnya masing-masing. Keakraban yang tampak meski sudah puluhan Tahun berpisah setelah meraka lulus dari Pondok Pesantren tempat mereka menimba ilmu

e.       Pendidikan Kedisiplinan
Pendidikan kedisipinan yang dilakukan oleh Kyai kepada santrinya tercermin dalam kegiatan ibadah. Misalnya bangun sblm subuh untuk melaksanakan Qiyamullail, kemudian shalat berjamaah di masjid, kajian kitab kuning bakda subuh dan lain sebagainya. Dan dipesantren memiliki tata aturan yang jelas bagi santri yang tidak mengikuti peranturan yang dibuah oleh pihak pondok pesantren dikenakan hukuman tersendiri. Nilai-nilai kedisiplinan ini terbentuk karena keteladanan sang Kyai, dimana seorang Kyai memberikan teladan dan contoh kepada para santrinya, Kyai bangun sblm subuh, sholat berjamaah sebagai imam, mengisi kajian kitab kuniang setiap hari dan lain sebaginya. Sebagaimana yang dituturkan santri-santri Baitul Qurán Pringsewu bahwa “kami belajar disiplin karena melelihat Kyai/ustadz kami yang mencontohan terlebih dahulu, mulai dari shalat berjamaah, belajar kitab kuning, jadwal menghafal Al-qurán dan murajaah”.[23]

KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas dapatlah diambil kesimpulan, Pesantren mempunyai jiwa dan falsafah yang ditanamkan kepada anak didiknya yaitu para santri. Jiwa dan falsafah inilah yang akan menjamin kelangsungan sebuah lembaga pendidikan bahkan menjadi motor penggeraknya menuju kemajuan di masa depan.
Sosok Kyai memiliki karakter yang menjadi contoh bagi santri yang merupakan anak bangsa yang mempunyai kewajiban untuk membangun negeri ini. Sosok Kyai yang sederhana, ikhlas dalam mendidik, disiplin dalam menjalankan tugas sebagi Kyai yang tercermin dalam karakteristik guru dalam pandangan islam yaitu, Sebagai Mudarris, Murabbi, Muallim dan Muaddib. Kepemimpinan seorang Kyai yang kharismatik dengan semangat keteladanan mampu mempengaruhi masyarakat baik dilingkunan pondok pesantren maupun di luar pesantren, sehingga mampu melahirkan lulusan-lulusan Pesantren yang karakternya mirip dengan Kyiainya.



[1] Zamakhsyaray, Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1985), hal.55
[2] Imam Bawani, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1990), hal. 90.
[3] Soekamto, Kepemimpinan Kyai Dalam Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1999), h. 19
[4] Undang-Undang No20 Tahun 2003  tantang Sisdiknas
[5] Zamakhsyari, Dhofier, Opcit. hal. 106
[6] Ridwan, Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2005), hal 80
[7] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group ), hlm. 27
[8] M. Ali Mas’udi, Peran Pesantren Dalam Pembentukan  Karakter Bangsa, Jurnal Paradigma, Volume 2, Nomor 1, November 2015, ISSN 2406-9787
[9] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa Depan, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1997), h. 45.
[10] M. Syaifuddien Zuhriy, Budaya Pesantren Dan Pendidikan Karakter
Pada Pondok Pesantren Salaf, Jurnal Walisongo, Volume 19, Nomor 2, November 2011
[11] Lamberi Dirawat, dkk, Pengentar Kepemimpinan Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1985), hal. 36
[12] Gerry Yukl, Kepemimpinan dan Organisasi, (Jakarta: Stya Wacana, 1999),hal.137
[13] Iva Yulianti Umdatul Izzah, Perubahan Pola Hubungan Kiai Dan Santri Pada Masyarakat Muslim Tradisional Pedesaan, Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 1, No.2, Oktober 2011 ISSN: 2089-0192
[14] Zamakhsyari Dhofier, OpCit, hal.56
[15] Martin van Bruinessen, NU, Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hal.21
[16] H.A. Rodli Makmun,Pembentukan Karakter Berbasis Pendidikan Pesantren: Studi Di Pondok Pesantren Tradisional Dan Modern Di Kabupaten Ponorogo, Jurnal Stain Ponorogo, Cendekia Vol. 12 No. 2, Juli - Desember 2014
[17] Nurla Isna Aunillah, Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah, (Yogyakarta: Laksana, 2011), hal.19.
[18] Rodli Makmun, Ibid
[21] Mangun Budiyanto, Imam Machali, Pembentukan Karakter Mandiri Melalui Pendidikan Agriculture Di Pondok Pesantren Islamic Studies Center Aswaja Lintang Songo Piyungan Bantul Yogyakarta, Jurnal Pendidikan Karakter, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun IV, Nomor 2, Juni 2014
[22] M. Syahran Jailani Kepemimpinan Kyai Dalam Merevitalisasi Pesantren  Artikel, Tarbiyah, IAIN STS Jambi
[23] Hasil wawancara dengan santri Pondok Pesantren Mahasiswa Baitul Qurán Pringsewu, Rabu, 20 Juli 2016 Pukul 20.10 Wib

Post a Comment

0 Comments